Cermin Retak Seribu
A
Mustofa W. Hasyim
Pernahkah engkau merasa hari-hari
berubah menjadi cakrawala?
sunyi menancapkan tiang-tiang,
bendera membisu
jamur membusukkan percakapan
bisikan dan siul pergaulan.
Di rumah-rumah kampung dan desa
cermin diretakkan kecemasan
yang disembunyikan dalam tawa
dan canda cabul tak mengenal harga.
Benarah masih ada republik dan negara
ketika pasar bingung
menghanguskan impian
menghajar langkah-langkah bayi?
Ini sudah melewati masa tangis dan luka
mengharap pada lagu
pengembara waktu
melepaskan panah-panah bercahaya:
senyuman
Puisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan rakyat
Indonesia. Dimana mereka sudah merdeka. Namun, masih merasa hidup mereka bagai
masih dijajah. Kehidupan mereka dihancurkan oleh bangsa sendiri,
harapan-harapan generasi merekapun hilang. Banyak kecemasan yang di sembunyikan
dalam tiap tawa Kini mereka hanya berharap pada lagu. Berusaha kuat dengan
terus memberikan senyuman.
puisi ini kami over menjadi musikalisasi puisi dengan
sentuhan instrumen gitar, ember pengganti drum dan botol berisi beras. Pada
bait pertama kami mengalunkan puisi tersebut melalui keheningan dengan tempo
yang pelan sebagai awal cerita agar maknanya tersampaikan. Sampai pada kata
‘membisu’ kami berhenti menyanyikan puisi untuk memperlihtkan bahwa saat itu
keadaan rakyat benar-benar membisu. Bait kedua, puisi dibacakan agar memperjelas
keadaan rakyat saat itu. Pada bait ketiga, tempo kami percepat untuk
menggambarkan rakyat yang marah dengan keadaan bangsa saat itu. Pada bait
keempat kami sampaikan untuk menggambarkan bahwa dalam keadaan seburuk apapun
rakyat Indonesia masih memiliki harapan, masih dapat tersenyum untuk menjemput
masa depan.